Konflik Doktif dan Shella Saukia: BPOM dan Drama Skincare yang Berujung Jalur Hukum
(Photo via tiktok : @dokterdetektif & @shellasaukia) |
Ketegangan
antara Doktif, seorang dokter detektif yang sering membongkar klaim produk
skincare, dan Shella Saukia, pemilik merek kosmetik, menjadi perhatian publik.
Konflik bermula saat Doktif mengulas produk "polosan" yang diklaim
telah berhenti diproduksi selama dua tahun, tetapi masih beredar di pasaran
dalam kondisi segar. Ulasan ini menjadi viral dan menimbulkan keraguan tentang
keaslian produk tersebut. Shella merespons keras melalui media sosial, menuntut
Doktif untuk mengungkap sumber produknya.
Situasi
memanas ketika Shella dan timnya mendatangi Doktif secara langsung. Sheila
mendesak Doktif menunjukkan bukti pembelian produk, tetapi Doktif menolak
dengan alasan melindungi reseller. Mediasi di kantor polisi gagal membuahkan
hasil. Sheila menawarkan perdamaian dengan syarat sumber produk diungkapkan,
tetapi Doktif menolak. Akhirnya, konflik ini dibawa ke jalur hukum oleh kedua
pihak.
Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga terlibat dalam polemik ini. Kepala BPOM,
Taruna Ikrar, mengumumkan rencana untuk memanggil Doktif guna mengklarifikasi
motif di balik ulasan tersebut. Dalam dialog interaktif dengan influencer
kosmetik pada Jumat (17/1), Taruna menyatakan ada risiko hukum dari ulasan
produk yang dilakukan individu, termasuk Doktif. Hal ini memicu pertanyaan
apakah BPOM akan membatasi ulasan dan pengujian produk di luar lembaga resmi.
Kontroversi
ini diperburuk oleh rekam jejak Taruna Ikrar. Gelarnya sebagai profesor dicabut
oleh Mendikbud Ristek pada 2023 karena klaim tak berdasar, termasuk pernyataan
dirinya sebagai nominator Nobel yang dibantah organisasi ilmiah internasional.
Riwayat ini menimbulkan keraguan terhadap kompetensi Taruna sebagai pimpinan
BPOM.(photo : Taruna Ikrar , sumber : https://kabarinews.com/video-prof-taruna-ikrar-ikon-ilmuwan-berprestasi-dan-inspirator-dunia-kedokteran/117401)
Publik
pun terpecah. Sebagian mendukung Doktif karena dianggap membela hak konsumen,
sementara yang lain memihak Shella dengan alasan ulasan tersebut merugikan
bisnisnya. Banyak pula yang mengkritik kedua pihak karena dianggap memperburuk
situasi tanpa memberikan solusi nyata.
Kasus
ini mencerminkan lemahnya pengawasan kosmetik di Indonesia. Banyak yang
berharap BPOM lebih proaktif menangani produk bermasalah, sekaligus
meningkatkan transparansi dan efektivitas pengawasan. Kolaborasi antara BPOM
dan influencer dianggap dapat menjadi langkah strategis untuk memberikan
edukasi kepada masyarakat mengenai keamanan kosmetik.
Pada
akhirnya, konflik ini menjadi pengingat akan pentingnya regulasi yang tegas
dalam industri kosmetik. Kerja sama yang baik antara pemerintah, pelaku usaha,
dan pengulas independen diharapkan mampu mencegah terulangnya kasus serupa di
masa mendatang.
Post a Comment