Header Ads

Marcell Siahaan Tekan Pentingnya Itikad Baik Soal Hak Cipta Musik

(Diskusi ACE YS. (Sumber foto: Siaran pers)


The Jakarta Pride - Bagi mayoritas musisi Indonesia, perjalanan karier tak selalu berujung pada kesuksesan finansial. Terbatasnya pemahaman para musisi dalam perlindungan hak cipta musik merupakan sebuah ironi, sebab musisi kerap menggantungkan hidup pada royalti.

Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) mencatat signifikannya kenaikan penghimpunan royalti dalam 3 tahun terakhir, dari Rp19,9 miliar pada 2021, Rp35 miliar pada 2022, hingga Rp55,2 miliar di 2024. Angka tersebut nyatanya tidak berbanding lurus dengan kesiapan musisi lokal terhadap praktik perlindungan hak cipta atas karya mereka.

Hal ini disoroti oleh Marcell Siahaan, Musisi & Komisioner LMKN, sebagai salah satu pembicara dalam diskusi Timeout! Episode 5 bertajuk From Tunes to Rights: Understanding Our Music Copyright Ecosystem pada Senin (30/9) di kantor sekretariat Asian Creative and Digital Economy Youth Summit (ACE-YS), Jakarta Pusat.

Marcell menyatakan bagaimana para musisi harus berpegang teguh saat dihadapkan dengan persoalan hak cipta.

“Sebagai musisi, kita harus bisa minta timbal balik dari publisher. Harus tahu deal yang terbaik, yang dapat men-display lagu semaksimal mungkin. Kita perlu tahu regulasi apa yang berlaku, termasuk hak pengadaan sampai hak pemutaran lagu. Sebab, bicara hak cipta yang paling sulit adalah persoalan itikad baik,” ujar Marcell.

“Demikian juga terkait rules of contract yang termasuk itikad baik juga. Jadi, harus ada kesadaran dari awal deal atau pembagian.” sambung pelantun lagu Peri Cintaku itu.

Hadir pula sebagai pembicara  Panji Prasetyo, Pengacara Direktorat Hukum Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI) dan Mentari Novel, musisi dan penulis lagu. Dimoderatori musisi Endah Widiastuti, para pembicara membagikan ragam persepsi, termasuk soal itikad baik yang seringkali dihiraukan berujung pada musibah bagi musisi itu sendiri.

Mentari Novel bercerita pengalaman tidak mengenakkan sebagai penulis lagu, ketika karyanya dipakai sebagai soundtrack film tanpa mendapatkan keuntungan apapun, baik moral dan ekonomi.

Penting bagi musisi untuk sadar akan perlindungan karya dalam keberlangsungan karier. Sebagai praktisi hukum penanganan hak cipta, Panji Prasetyo menegaskan bagaimana musisi harus memiliki kedudukannya sendiri.

“Pencipta harus punya kontrol akan ciptaannya sendiri, jangan sampai lagunya ‘disandera’ publishing. Ada pencatatan dalam HAKI (hak cipta), tetapi kalau ada bukti yang mendahului pencatatan tersebut, hak cipta bisa dicabut. Oleh karena itu, musisi harus memiliki kebiasaan mencatat, mulai dari pemetaan kontributor sampai persenan yang disepakati.” ujarnya.

Panji turut menyoroti musisi lokal kerap kurang memahami hak cipta bukan sekadar royalti penciptaan lagu, tetapi juga pada hak pengadaan sampai hak performing. Soal ini, para musisi harus lebih sadar lagi akan regulasi yang berlaku.

Pada akhir diskusi, baik para pembicara dan peserta sepakat bahwa pentingnya ekosistem hak cipta yang memberi kekuasaan penuh bagi musisi dan harus saling menguatkan dalam perjuangan fasilitas dan hak.

Sebagai informasi, Timeout! adalah bagian dari acara ACE-YS yang membahas isu-isu seputar sektor ekonomi kreatif. Sebelumnya, Timeout! membahas kecerdasan artifisial (AI), gim, hak cipta, isu minimnya variasi genre di industri perfilman lokal, dan dampak ekonomi dan sosial dari industri kreatif.

Diberdayakan oleh Blogger.