Header Ads

Didominasi Genre Horor, Ahli Film Bahas Perkembangan Industri Film di Indonesia

(Diskusi ACE-YS ke-4 (Sumber foto: ACE-YS)

The Jakarta Pride, Jakarta - Setelah pandemi Covid-19, jumlah penonton bioskop di Indonesia meningkat pesat. Menurut data dari Kementerian Ekonomi dan Pariwisata Kreatif (Kemenparekraf), sepanjang 2023, sebanyak 55 juta orang telah mengunjungi bioskop di Tanah Air.

Meskipun angka penonton terus meningkat, pangsa pasar film Indonesia masih terbatas. Hal ini disebabkan oleh banyaknya film lokal yang bersaing, sehingga variasi genre dalam industri film Indonesia menjadi minim. 

Dalam 2 tahun terakhir, film horor juga meraih predikat terlaris, seperti KKN di Desa Penari"(2022) dengan 4,62 juta penonton dan Sewu Dino (2023) dengan 4,89 juta penonton.

Edwin Nazir, produser film dan Ketua Umum Asosiasi Produser Film Indonesia (APROFI), membahas situasi ini dalam diskusi Timeout! Episode 4 bertajuk Redefining Indonesian Film Genre: Between Money Making Movies vs Idealism pada Sabtu (10/8) di kantor Sekretariat Asian Creative and Digital Economy Youth Summit (ACE-YS), Jakarta Pusat. 

Diskusi ini juga dihadiri oleh Alexander Matius, Direktur Program Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF), Lukman Sardi, aktor serta Chief Creative Officer Adhya Pictures. Alexander Matius menekankan bahwa produksi film tidak hanya mempertimbangkan aspek estetika, tetapi juga faktor ekonomi. 

“Film adalah produk ekonomi yang memerlukan biaya. Saat memikirkan eksplorasi genre, biasanya terlintas pertanyaan, Apakah genre ini menguntungkan?” ujarnya dalam acara tersebut.

Meski demikian, Edwin Nazir justru menekankan bahwa alih-alih mempermasalahkan genre, hal yang paling penting untuk diprioritaskan adalah kualitas produksi film itu sendiri.

“Keberhasilan film tidak bisa diprediksi. Meskipun film horor diproduksi paling banyak karena dianggap aman, kualitasnya tetap yang utama. Saya mendorong filmmaker untuk membuat film yang berkualitas.” ucap produser film DreadOut itu.

Lukman Sardi menambahkan bahwa film horor sangat terkait dengan tradisi dan kepercayaan masyarakat Indonesia, sehingga genre ini populer di pasar film Tanah Air. Namun, dia juga menekankan pentingnya mengakomodasi penonton dengan selera film non-horor dan memberikan ruang untuk genre lain.

“Kultur Indonesia yang erat dengan mistis membuat genre horor memberikan kesan kedekatan bagi penonton, mendorong popularitasnya di pasar film Tanah Air,” ujar Lukman Sardi.

Diskusi yang dimoderatori langsung oleh Project Management Officer Pancaran Sinema, Naomi Hitanayri, membuka kesempatan bagi peserta untuk bertanya. Salah satu peserta, Ajeng Adinda Putri. Di sesi tanya jawab, Ajeng mengangkat isu terkait kebutuhan film yang ramah bagi semua umur. Para pembicara sepakat menjawab bahwa perlu ada keterbukaan atas isu dan lebih banyak ruang diskusi terbuka yang didukung berbagai stakeholders, tak terkecuali pemerintah.

Para pembicara sepakat menjawab bahwa perlu ada keterbukaan atas isu dan lebih banyak ruang diskusi terbuka yang didukung berbagai stakeholders, tak terkecuali pemerintah.

Sebagai informasi, Timeout! Episode 4 adalah bagian dari acara ACE-YS yang membahas isu-isu di sektor ekonomi kreatif. Sebelumnya, acara ini membahas kecerdasan artifisial (AI), gim, dan hak cipta. 

Menutup diskusi, para pembicara menekankan pentingnya sinergi antara idealisme dan pasar, serta mendukung film lokal dengan genre variatif dan menghindari pembajakan.

Diberdayakan oleh Blogger.