Sepak Bola Arab Saudi:Menuju Masa Depan Gemerlap atau Menjadi Gelap?
The Jakarta Pride
- Setelah
Cristiano Ronaldo pindah ke Al Nassr di Liga Arab, klub-klub di Liga Arab kini
berlomba-lomba untuk mendatangkan pemain bintang dari Eropa dengan tawaran yang
fantastis, bahkan siap memberikan gaji dua kali lipat kepada pemain yang berada
di Eropa.
Beberapa penggemar sepakbola
antusias dengan Liga Arab Saudi yang habis-habisan merekrut pemain baru yang
bermain di Eropa, namun mereka mungkin tidak melihat dampak buruknya terhadap
Federasi Sepak Bola Arab Saudi ke depan.
Sebelum saya mengkritisi
Liga Arab itu sendiri, saya akan menjelaskan dari mana mereka mendapatkan
pendapatan untuk membeli pemain bintang di Eropa.
Sebelum dimulainya musim
2023/2024 Liga Arab Saudi pada bulan Agustus, PIF (Public Investment Fund)
mengumumkan bahwa mereka akan mengendalikan empat klub terbesar di Liga Pro
Saudi, yaitu Al Nassr, Al Hilal, Al Ittihad, dan Al Ahli.
PIF adalah perusahaan milik
negara yang berupaya menghasilkan lebih banyak pendapatan negara melalui
investasi, seperti di Disney, Uber, dan Boeing. PIF menjadi komponen penting
dari Visi 2030 untuk memodernisasi Arab Saudi.
Secara rinci, PIF akan
memiliki 75% saham di empat klub tersebut, sementara 25% sisanya akan
dikendalikan oleh organisasi nirlaba. Dewan klub akan terdiri dari 7 anggota,
di mana 5 di antaranya ditunjuk oleh PIF dan 2 oleh organisasi nirlaba. Ini
merupakan langkah baru di dunia sepakbola, di mana beberapa klub dimiliki oleh
organisasi yang sama. Bagi Arab Saudi dan Pangeran Muhammad bin Salman al-Saud,
ini adalah masalah "bisa atau tidak bisa" daripada "boleh atau
tidak boleh".
Selain PIF, beberapa
perusahaan negara Arab Saudi juga mengambil alih struktur kepemilikan klub
lainnya. Aramco, perusahaan minyak, akan memiliki saham di Al Qadsiah (Divisi
kedua). Diriyah Gate Development Authority, otoritas pelestarian sejarah kota
Diriyah, memiliki saham di Al Diriyah (Divisi ketiga). Royal Commission for
Al-'Ula, komisi pelestarian dan pengembangan situs bersejarah, memiliki saham
di Al Ula (Divisi Keempat). Sedangkan Neom, Smart City, memiliki saham di Al
Suqoor (Divisi Ketiga). Dengan pembagian kepemilikan ini, penyelenggara liga
dapat memastikan pemerataan pemain antara klub-klub untuk memupuk persaingan,
meningkatkan tingkat kompetisi, dan pada akhirnya meningkatkan pendapatan
komersial.
Financial Fair Play (FFP)
hanya berlaku di Eropa, sehingga klub-klub Liga Arab Saudi dapat berbelanja
tanpa memikirkan FFP.
Namun, jika melihat masa
depan Federasi Sepak Bola Arab Saudi, mungkin akan ada hambatan dalam
meregenerasi pemain lokal yang kompeten dan tidak dapat menembus liga-liga
Eropa. Salah satu pemain lokal Arab Saudi yang terbilang bagus saat ini adalah
Salem Al-Dawsari, namun dia hanya bermain di liga Arab saja, yaitu Al Hilal.
Presiden UEFA, Aleksander
Caferin, juga mengkritik sistem investasi Arab Saudi yang salah. "Saya
pikir itu adalah kesalahan utama bagi sepakbola Arab Saudi. Mengapa itu menjadi
masalah bagi mereka? Karena mereka harus berinvestasi di akademi, mereka harus
mendatangkan pelatih, dan mereka harus mengembangkan pemain mereka
sendiri," ujar Caferin, yang dikutip dari ESPN, Senin (19/06/2023).
Sistem pembelian pemain ini
dapat kita katakan mirip dengan apa yang terjadi di Liga Cina 7-9 tahun yang
lalu, dan kita lihat nasib Liga Cina yang akhirnya gagal dalam investasi
mereka.
"Memiliki sistem
membeli pemain yang hampir mengakhiri karier mereka bukanlah sistem yang
mengembangkan sepakbola. Itu adalah kesalahan yang sama seperti yang terjadi di
Cina ketika mereka membawa pemain yang berada di akhir karier mereka,"
tambah Caferin.
Mungkin sepakbola Arab Saudi
akan menghadapi kegagalan dengan tidak adanya regenerasi pemain lokal yang
tertutupi oleh pemain bintang yang diboyong dari Eropa. Menurut pendapat saya,
lebih baik mereka mendatangkan pelatih top dari Eropa untuk mengembangkan
pemain lokal mereka daripada hanya fokus pada pemain bintang.
Post a Comment